Kamis, 04 Februari 2010

TEOLOGI LIBERAL BUKAN TEOLOGI AGAMA

TEOLOGI LIBERAL

BUKAN TEOLOGI AGAMA[1]

Oleh Dr. H. Mukhtar Aziz

Pengantar,

Pemikiran sejumlah sarjana Muslim akhir-akhir ini menimbul-kan kegundahan di kalangan umat. Mungkin karena apa yang mereka sampaikan kepada masyarakat bersifat tidak lazim, bahkan aneh jika dibanding dengan apa yang dikenal masyarakat sebelumnya. Islam yang bermakna menyerah kepada Allah, telah ditafsirkan sebagai Islam yang bebas dan liberal, artinya tidak perlu lagi terikat dengan Allah. Pada hal sifat menyerah dan bebas tidak dapat disatukan. Orang yang menyerah kepada Allah, haruslah taat kepada-Nya. Seorang Muslim yang menyerah kepada Allah, tidak mungkin bebas dari ketaatan, atau bebas dari ketundukan kepada perintah dan larangan-Nya.

Sementara itu ada pula pemikiran modern yang mengagung-agungkan Pluralisme, yang memandang semua agama itu sama, dan semua agama itu benar adanya. Sehingga istilah kafir dan mukmin, tidak sesuai lagi dengan pemikiran mereka. Itulah yang dinamakan dengan toleransi agama. Artinya, untuk kepentingan toleransi agama, setiap pemeluk agama harus melepaskan keyakinan dan keimanannya, atau bebas dari pengaruh agama yang dianutnya. Seolah-olah orang yang beriman dan taat kepada Allah, tidak mungkin berlapang dada, dan memiliki toleransi agama.

Dalam konsep lama, umat Islam mengenal adanya perbedaan agama. Bahwa agama Islam tidak sama dengan agama Kristen, kedua-duanya tidak sama dengan agama Yahudi, agama Hindu, Budha atau Cong Hu Cu, dan lain-lain. Masing-masing agama memiliki keyakinan dan akidah tertentu, yang berbeda antara satu agama dengan agama lainnya. Tetapi setiap pemeluk agama tersebut meyakini kebenaran ajaran agama yang dipeluknya. Dalam hal ini terbuka kemungkinan untuk timbulnya fanatisme buta, yang menganggap perbedaan itu sebagai sebuah permusuhan, yang menimbulkan kebencian dan sikap a priori, serta menolak untuk memahami pihak lain, misalnya,

1. Ovalda Yosef, seorang rabi Yahudi Orthodox, anggota Partai Shas. Dalam khotbahnya, Senin, 9/4-2001 menyatakan bahwa bangsa Arab harus dimusnahkan, “Haram bersikap baik pada mereka (Arab). Kalian harus kirim peluru kendali kepada mereka sepuas hati kalian, sebab mereka itu jahat, dan terkutuk”. (Republika, 10 April 2001), kebencian tersebut lahir karena perbedaan agama.

2. Menteri Dalam Negeri Papua Nugini, menyatakan pemerintah-nya sedang memproses sebuah RUU baru yang melarang penyebaran agama selain Kristen di negara tersebut. Bahkan sebuah pamflet di Ibukota Papua Nugini di bawah tajuk, “Waspai penyebaran agama Islam di Papua Nugini” , mengklaim bahwa kebanyakan kerusakan di dunia ini, akibat Islam. Dokumen itu juga menyebutkan, jika Islam beserta ajarannya dibiarkan maka umat Islam akan melakukan jihad melawan Kristen.(Rep.24 -11-2006).

3. Vonis pengadilan Administratif Stuttgart, Jerman akhir pekan lalu melarang seorang guru wanita mengenakan jilbab saat mengajar di kelas. Pemakaian jilbab di depan kelas menurut dewan hakim, dianggap terlalu demonstratif, meski tidak eksplisit. Mereka takut jilbab sang guru, akan mempengaruhi para murid. Vonis soal jilbab ini merupakan penguatan dari keputusan Menteri Kebudayaan pada 1998, yang melarang seorang guru wanita asal Afghanistan, mengenakan jilbab saat mengajar di kelas. Alasannya kilah sang menteri, jilbab bukan kewajiban agama. Ia menuding jibab sebagai simbol pembatasan budaya dan politis. Kontroversi mengenai Jibab di Jerman mulai muncul sejak pemerintah negeri ini menyetujui UU yang menggariskan, adanya netralitas agama di sekolah-sekolah. Sementara konstitusi Jerman menjamin kebebasan beragama. (Repl .27-Maret2000).

4. Bahwa tindakan pemerintah Amerika Serikat di bawah pimpinan George W. Bush dan sekutu-sekutunya di Eropa dan Australia, menyerang Irak dan Afghanistan, secara terbuka menampakkan sikap anti Islam yang amat kental.

Ketika umat Islam meyakini kebenaran ajaran agamanya, mereka siap untuk disandingkan dengan keyakinan agama lainnya. Sehingga dapat dibanding-bandingkan antara ayat-ayat al-Quran dengan ayat-ayat kitab agama lainnya, mana yang benar, dan mana yang keliru.

Umat Islam sebagai halnya umat Nasrani dan Yahudi, juga memandang kelompok lain yang di luar agama mereka sebagai orang kafir. Tidak ada orang Yahudi atau Nasrani yang memandang umat Islam sebagai pemeluk agama yang benar. Demikian sebaliknya umat Islam tidak pernah melihat umat Nasrani atau Yahudi sebagai pemeluk agam yang benar. Mereka diyakini salah dalam akidah, sehingga salah dalam menilai kebenaran, dalam kehidupan di dunia ini, sehingga mereka akan masuk ke dalam neraka di Hari Akhirat kelak. Akan tetapi sungguhpun Islam melihat pemeluk agama lain sebagai umat yang sesat dan menyesatkan, Islam dapat menerima dan menghormati pemeluk agama lain, sebagai sesama makhluk Allah di dunia.

Umat Islam juga menerima perbedaan mazhab dalam Islam, sebagai sesuatu yang wajar dari sebuah pemikiran. selama perbedaan itu masih berada dalam bingkai agama. Akan tetapi jika perbedaan pendapat itu tidak lagi soal pendapat, tetapi sudah bersifat perbedaan akidah, yang tidak mungkin disatukan, maka di sana berlaku istilah “lakum dinukum waliya din”.

Jika pluralisme itu bermakna bahwa semua agama itu benar, dan bahwa semua pemeluk agama akan masuk surga, maka paham semacam itu dipandang aneh dan tidak rasional.

Teologi Liberal

Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), yang mengharamkan atau menyalahkan paham Islam Liberal, menimbulkan banyak reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara reaksi yang menolak fatwa MUI adalah tulisan Sukidi,[2]

Tulisan tersebut menggambarkan jati diri Islam Liberal, di tengah-tengah kaum Muslimin, dan asal muasal sumber idiologinya. Dengan mengetahui asal muasal ideologinya, kita mengenal posisinya dalam pemikiran Islam.

Sukidi menyatakan bahwa, “Teologi” sering dikonotasikan dengan wacana ketuhanan, maka liberal dalam teologi pertama-tama perlu diletakkan di atas prinsip dasar bahwa Tuhan adalah Kebebasan itu sendiri, the free, das freie, suatu nomenklatur yang diperkenalkan GWF Hegel dalam Lectures on the Philosophy of Religion (1987). Secara teologis Tuhan menjadi referensi primer kebebasan yang meniupkan spirit kebebasan pada diri manusia. Karena itu makna liberal dalam konteks kemanusiaan primordial kita adalah kebebasan itu sendiri”. Hal itu sesuai dengan makna dasar liberal berasal dari bahasa Latin, liberalis yang akar katanya adalah liber, atau free ‘bebas dari kefanatikan atau prasangka tak beralasan’. Sesuai dengan definisi standard The Oxford English Dictionary dan ‘terbuka terhadap penerimaan ide-ide baru atau usulan-usulan pembaruan’. (kutipan).

Ciri Islam Liberal & Programnya

Dari uraian tersebut di atas, kita dapat memahami bahwa Teologi Liberal itu, adalah teologi yang membebaskan manusia dari pengaruh agama, atau dengan perkataan lain, teologi liberal itu, bukan teologi agama, tetapi teologi orang yang tidak beragama, sekularisme atau atheis. Karena Tuhan adalah kebebasan, yang meniupkan spirit kebebasan pada diri manusia, dan karena kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia begitu besarnya, mungkin tidak terbatas, maka manusia sama sekali tidak perlu terikat dengan Tuhan. Karena keterikatan kepada sesuatu bukanlah kebebasan. Walaupun yang dimaksud dengan kebebasan itu adalah, ‘bebas dari kefanatikan atau prasangka tak beralasan’.

Dalam pandangan Sukidi, Islib (Islam Liberal) punya karakter sendiri Pertama, Islib harus bebas dari belenggu fanatisme, ortodoksi, dan otoritas keagamaan yang otoritarian dan subversif. Karena itu Islib harus bebas untuk berfikir rasional-kritis dalam menafsirkan kembali doktrin (Islam) yang membeku dan out of date, sambil melakukan perlawanan intelektual terhadap otoritas eksternal yang membelenggu kebebasan. Kedua, Islib selalu terbuka dan membuka diri terhadap pencarian ide-ide baru yang rasional, progressif, dan liberal. Karena itu spirit utama Islib adalah reform-minded yang selaras dengan semangat perubahan zaman.

Dari ciri khasnya itu, pemikiran kelompok Islib terarah kepada dua hal. Pertama, Islib mengembangkan paham dan pemikiran baru untuk membantu manusia melepaskan diri dari ikatan dan pengaruh agama, sehingga tidak ada lagi apa yang disebut dengan fanatisme, (keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap ajaran agama, atau ajaran Allah), atau ortodoksi, (ketaatan kepada peraturan dan ajaran resmi) dan otoritas keagamaan yang otoritarian dan subversif.(seperti lembaga agama dan fatwa-fatwanya). Semua itu dipandang negatif karena merusak kebebasan. Dengan demikian agama hanyalah sebuah pengetahuan yang tidak perlu diujudkan dalam praktek karena tidak bermanfaat, atau paling tinggi sebuah gejala sosial yang tidak sehat, sehingga tidak perlu dilestarikan. Masyarakat agama sering dikonotasikan dengan kebodohan.

Maka sebagai ganti dari ajaran agama dan lembaga-lembaga keagamaan yang sudah out of date adalah, berfikir rasional-kritis dalam menafsirkan kembali doktrin (Islam). Lalu mana doktrin (Islam yang out of date? Atau yang sudah tidak cocok lagi dengan selera zaman. Mungkin ini contohnya, misalnya Islam meminta manusia menutup auratnya, menjauhi maksiat, dan takut kepada Allah. Sementara selera zaman meminta sebaliknya.Untuk itu mereka merasa perlu melakukan reinterpretasi radikal terhadap ajaran Islam. Maka jilbab harus dilarang, kemaksiatan zina, atau free sex jangan dilarang, karena free sex itu bukanlah hal yang berdosa, tetapi kebutuhan yang disukai setiap orang. Demikian juga takut kepada Allah, dipandang akan menghambat kemajuan, dan tidak sesuai dengan perkembangan global. Apa lagi dalam rasa takut kepada Allah itu terselip hal-hal yang halal dan haram, sementara zaman tidak mengenal istilah itu. Dunia global lebih dekat dengan soal untung dan rugi daripada halal dan haram. Dunia dan isinya bebas, sedang agama dan ajarannya terikat dengan Allah.

Sementara itu mereka melakukan perlawanan intelektual terhadap otoritas eksternal yang membelenggu kebebasan. Mungkin yang dimaksudkan adalah bahwa MUI atau lembaga-lembaga fatwa yang lahir dari para ulama, yang mengingatkan umat Islam dari jalan yang sesat, dipandang sebagai sebuah tindakan yang membelenggu kebebasan. Artinya Islib ingin membimbing umat Islam agar bertindak sesuai dengan akalnya dan pemahamannya terhadap Islam, dan jangan mendengarkan pengaruh ulama. Karena nasihat ulama dipandang sebagai intervensi dan subversif terhadap pihak lain. Dengan perkataan lain, nasihat menasihati yang dianjurkan agama dipandang salah, dan tidak sesuai dengan kebebasan.

Kedua, Islib menjadi pusat produksi ide yang akan memberikan masukan kepada setiap orang yang ingin bebas dari beban-beban agama, atau ide-ide perlawanan terhadap Islam.--pencarian ide-ide baru yang rasional, progressif, dan liberal. Karena itu spirit utama Islib adalah reform-minded yang selaras dengan semangat perubahan zaman-- Kata-kata yang digunakan dapat menimbulkan multi interpretasi. Yang mana yang disebut dengan ide baru yang rasional, progressif, dan liberal yang selaras dengan semangat perubahan zaman? Pada dasarnya Islam itu tidak lahir untuk mengikuti perkembangan zaman, apalagi jika perkembangan zaman itu merusak akidah, dan merendahkan akhlak manusia. Islam itu lahir dan dibawa Rasul Allah untuk membimbing manusia ke jalan yang benar, untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar, dan membangun peradaban manusia yang sehat. Pola pikir semacam ini meyakinkan kita bahwa teologi liberal itu, bukanlah teologi agama, tetapi teologi atheis.

Dua Jalan Bersimpang

Sekali lagi, jika ajaran Islam yang biasa (bukan liberal), pemeluknya berusaha menundukkan zaman kepada ajaran Allah, maka teologi liberal berusaha menundukkan ajaran Allah di bawah selera zaman. Seorang Muslimah yang taat misalnya, berusaha memakai jilbab (karena perintah agama), di tengah-tengah manusia yang membuka aurat (karena tuntutan perkembangan zaman), dan menghadapi semua resikonya, (baik dibenci, dilarang dengan peraturan khusus, dipehakakan dari pekerjaan dan lain-lain) karena patuh pada ajaran Allah.

Seorang Muslimah dapat saja mengikuti naluri kemanusiaannya, misalnya mengikuti perkembangan zaman, yang sesuai dengan hawa nafsunya, (membuka aurat, atau berzina) tetapi dilawannya kehendak tersebut karena terikat dengan ajaran Allah. Tetapi Islib berbuat yang sebaliknya. Yaitu apa yang menjadi kenyataan zaman, (membuka aurat) harus diterima sebagai sebuah kebenaran mutlak, (sesuai perkembangan zaman) lalu melepaskan ajaran agama, (tidak memakai jilbab) yang sudah out of date, sehingga seolah-olah nilai-nilai kebenaran agama dikalahkan oleh nilai-nilai perkembangan zaman.

Islib membalik logika agama: manusia seharusnya lebih takut kepada Allah daripada kepada manusia, Islib mengubahnya menjadi: manusia lebih baik takut kepada sesama manusia, daripada takut kepada Allah. Islib seolah-olah menolak ajaran dan agama Allah yang sudah pasti dan sempurna, dan membangun ajaran atau agama baru yang masih dalam konsep, dan melihat ke mana angin bertiup.

Tuhan Sudah Mati ?

Maka kalau pemeluk agama tradisional berusaha mempertahan-kan keimanannya kepada Allah, sebaliknya Islib berusaha memper-tahankan kebebasannya, untuk tidak taat kepada Allah. Atau dengan perkataan lain, Islib tidak memiliki nilai-nilai moral tertentu yang harus dipertahankannya, karena Islib tidak menerima sesuatu doktrin, kecuali kebebasan. Barangkali itu sebabnya Islib menolak keras fatwa MUI tentang penyelewengan Muhammad Usman Roy yang salat dalam dwi bahasa, sebagai sesuatu yang salah. Tetapi “penyelewengan” itu adalah hak Usman Roy yang sah atas dasar teologi liberal. Demikian juga dengan apa yang disebut penyelewengan Ahmadiyah oleh MUI tidak dianggap sebagai penyelewengan terhadap ajaran Islam, melainkan itulah manifestasi dari kebebasan beragama, dan hak asasi manusia, yang harus dijunjung tinggi, oleh semua pihak. Hal ini memang perlu diperjuangkan oleh Islib karena pemikiran merekapun pada dasarnya sama dengan mereka yang dituduh menyeleweng itu. Artinya solidaritas terhadap sesama penyeleweng perlu dikembangkan.

Seorang praktisi hukum kenamaan, Dr. Adnan Buyung Nasution, dengan kalimat yang jelas di depan para wartawan ia menyatakan bahwa, fatwa MUI yang memandang Ahmadiyah sebagai sesat telah melakukan pembodohan terhadap umat. Tindakan “bodoh” MUI itu tentu saja karena dilihatnya dari segi hukum nasional, yang amat dikuasanya. Para ulama MUI dapat juga menyebut Bung Nasution sebagai orang yang “bodoh” dalam hukum fikh Islam. Karena sesatnya Usman Roy dan Ahmadiyah dilihat ulama dari sudut hukum Islam, yang tidak dikenal oleh hukum Nasional. Sehingga tuduhan Bung buyung MUI telah melakukan pembodohan terhadap umat, dapat juga dituduh balik, yaitu justru Bung Buyunglah yang telah melakukan pembodohan terhadap umat.

Jika setiap penyelewengan terhadap ajaran dasar agama Islam, semacam itu dipandang sah, di atas dasar mengikuti perkembangan zaman, maka tidak mustahil, akan banyak ajaran Islam yang tidak sesuai lagi dengan kehendak zaman. Ajaran Islam akan diganti dengan berbagai aktifitas penyelewengan yang ringan-ringan, sampai kepada yang berat-berat. Semuanya berlansung atas nama sebuah berhala perkembangan zaman.

Permasalahannya adalah, karena Islib tidak terikat dengan nilai-nilai Islam dalam al-Quran dan Hadis, atau tradisi Islam lainnya yang sudah baku. Tetapi terikat dengan sesuatu hal yang akan terjadi, yaitu perkembangan zaman, atau karena kagum kepada pemikiran kaum orientalis, yang tidak berhenti memfitnah Islam dan mencari kelemahan agama dan pemeluk Islam. Sehingga kerusakan dan kehancuran nilai-nilai agama Allah, sebagai hasil dari pemikirannya yang luar biasa itu, tidaklah penting bagi Islib. Atau barangkali tujuannya memang untuk menghancurkan agama? Benar juga kata Nietche, Tuhan (memang) sudah mati (dalam dada kaum Islib).

Meniru Jejak Langkah Protestan dan Pencerahan

Selanjutnya Sukidi menjelaskan bahwa untuk dasar pijak keilmuan Islib harus mengikuti teologi liberal, yang akar-akarnya dapat dilacak pada dua momentum besar dalam sejarah Barat. Reformasi Protestan dan Pencerahan. Inilah dua momentum menentu-kan dalam perjalanan Barat menuju kemajuan dan peradaban tinggi.

Dengan demikian Sumber pokok ajaran Islam Al-Quran, dan jejak-langkah dan teladan Nabi Muhammad SAW (Hadis), dan teladan para pengikutnya dalam sejarah Islam, dan peradaban Islam yang dibangun berabad-abad yang lalu, tidak dapat diterima oleh Islib. Boleh jadi karena liberalnya, maka keterikatan dengan Islam sudah dilepas, dan Islib lebih senang berkiblat ke Protestan, yang oleh umat Islam tradisional, disebut kafir. Walaupun lahirnya Protestan dan Pencerahan pada abad Pencerahan itu, sulit dipisahkan dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh umat Islam di Spanyol dan Sisilia berabad-abad sebelumnya.

Ia menjelaskan bahwa “Reformasi Protestan abad XVI ditandai dengan benih awal liberalisme dalam teologi: dalam bentuk kebebasan negatif dan kebebasan positif. Kebebasan negatif di satu sisi tampak pada usaha reformis terutama Luther dan Calvin dalam memperjuang-kan kebebasan (individu) dari cengkeraman otoritas Imam dan Gereja yang korup dan hierarkis. Kebebasan positif di sisi lain ditandai dengan kebebasan (individu) untuk antara lain membaca dan menafsirkan Bibel, sesuai dengan semangat reformasi. Transformasi radikal dapat disimak pada terjadinya pergeseran dari otoritas imam dan institusi Gereja menuju otoritas iman individu (sola vide) dan teks (sola scritura)”.

Kita mengetahui bahwa pada masa pencerahan terdapat konflik yang tajam antara Gereja Katholik dengan umatnya, yang kemudian melahirkan Agama Protestan. Pertanyaannya adalah apakah suasana konflik tersebut, harus diciptakan juga di Indonesia, agar semangat Protestantisme dapat dilahirkan kembali (reinkarnasi) ke dalam lubuk hati pengikut Islib, dan para tokohnya? Dapatkah konflik antara MUI dengan Islib dan simpatisannya sekarang, merupakan manifestasi dan reinkarnasi dari konflik Protestan dan Katholik masa abad Pencerahan di Barat? Lalu untuk apa? Apakah Islam yang dipeluk oleh satu milyar lebih umat manusia, begitu mudah menerima pikiran Islib yang berpedoman kepada mazhab Protestan ini?

Kita semua mengetahui bahwa para pendeta Katolik di Abad Pertengahan (Abad Kegelapan), yang kemudian menjadi lawan Protestan, telah banyak melakukan kesalahan fatal yang menyebabkan kebebasan individu dan masyarakat Barat terbelenggu dan mati langkah. Sehingga pantas kalau Luther dan Calvin perlu memperjuangkan kebebasan (individu) dari cengkeraman otoritas Imam dan Gereja yang korup dan hierarkis. Tetapi apakah Sukidi melihat apa yang dilakukan ulama Islam Indonesia dengan fatwa-fatwanya sekarang ini, sama dan sebangun dengan pendeta Katholik di zaman reformasi di Barat itu? Apakah posisi ulama Islam dalam ajaran Islam, sama dengan posisi para pendeta Nasrani dalam agama Katholik? Artinya apakah ulama Islam berwenang menetapkan hukum di luar ketentuan Kitab Suci Al-Quran, sebagaimana yang dilakukan para pendeta Katholik yang menetapkan ketetapan Gereja di luar ketentuan Bibel?

Ketika para pendeta Katholik dapat memberikan pengampunan dosa kepada umatnya, apakah ulama Islam punya wewenang sebesar itu? demikian juga ketika para pendeta Katholik menjual surat pengampunan dosa kepada umatnya di Barat, yang tidak terdapat dalam Bibel dan juga bertentangan dengan akal sehat, adakah ulama Islam melakukan hal yang sama? Atau seperti ketika pengadilan inkuisisi di Spanyol yang membunuh tiga setengah juta umat Islam, dan juga umat Yahudi pada Abad XV –XVIII karena beda agama, adakah sebuah institusi Islam yang membunuh non Muslim karena alasan beda agama? mengapa begitu mudah pemuka Islib tergelincir di atas jalan yang lurus dan rata? Bagai mana mungkin Islib tidak mampu melihat perbedaan yang begitu besar, padahal mereka ingin menjadi orang yang rasional dan kritis?

Islib Berkiblat Ke Protestan

Sulit bagi kita yang belum liberal dalam beragama sebagaimana halnya Islib untuk memahami mengapa Islib sebagai Muslim mencontoh Protestan yang Nasrani? Apalagi yang dicontohinya adalah masalah teologi, atau masalah akidah? Apakah karena Islib sudah melepaskan diri dari ikatan teologi Tauhid, yanjg mengesakan Allah? lalu memngikuti teologi trinitas? Apakah tindakan tersebut berarti melepaskan diri dari Islam lalu mengikat diri dengan Protestan?

Dan bukankah Muslim dan Nasrani itu dua agama yang berbeda secara amat mendasar? Dan bahkan saling mengkafirkan? Mungkinkah perbedaan yang begitu besar tidak mampu lagi dilihat oleh Islib yang modern dan kritis? Apakah karena Islam yang dianutnya itu bersifat liberal? Sehingga Islam dan Protestan dianggap sama saja? Sama-sama masuk surga di akhirat nanti? Bagaimana Islib mengetahui soal akhirat, melalui logika? Bukankah akal dalam pandangan Islib lebih utama dari wahyu? Sehingga dugaan akal lebih kuat dari wahyu? Apakah logika liberal mampu menembus batas wahyu? Bagaimana dengan firman Allah dalam Al-Quran: “Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya….” (QS 98: 6). Bagaimana anda mengeluarkan mereka dari neraka Jahannam? Ayat al-Quran ini jelas-jelas tidak sesuai dengan akalnya Islib.

Sebenarnya akan nampak lebih jantan jika Islib terang-terangan saja mengakui bahwa mereka telah mengikuti langkah Protestan, dan tidak usah memakai Islib lagi tapi ya Protestantisme secara penuh. Umat Islam pasti akan menghormati eksistensi pemeluk dan simpatisan agama Protestan, atau agama apapun. Karena aneh secara logika ada umat Islam yang menolak ajaran Islam, menolak hukum Islam, dan institusi Islam, serta tradisi keilmuan Islam, tetapi tetap merasa Islam, bahkan merasa lebih baik dan lebih Islam dari Muslim lainnya.

Allah telah berfirman: Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS 7: 30). Walaupun dalil ini tidak dapat ditujukan kepada Islib, karena menurut Islib seseorang disebut sesat atau tidak itu urusan Tuhan. Masalahnya sekarang kepada siapa firman Allah ini ditujukan, siapa yang Islam sepenuhnya, dan siapa Muslim yang mengaku diri Protestantisme?

MUI Berwajah Otoriter dan Subversif ?

Sukidi memberi contoh MUI Jatim adalah sebuah institusi keislaman yang berwajah otoriter dan subversif terhadap hak dan kebebasan Muhammad Usman Roy untuk salat dalam dwibahasa. Demikian juga penghakiman MUI terhadap Ahmadiyah sebagai “sesat” dan “menyesatkan”, termasuk ke dalamnya larangan terhadap gagasan liberalisme, sekularisme, dan pluralisme”.

Sukidi memandang para ulama dengan fatwa-fatwa di atas, telah melakukan pambajakan atas nama Tuhan. Demikian juga ketika MUI memandang Ahmadiyah sesat. Menurut Sukidi dan kaum Islib pada umumnya, sesat dan tidak sesat itu sepenuhnya menjadi otoritas Tuhan. Sementara dalam teologi leberal yang dipeloporinya, Tuhan itu tidak punya otoritas. Bukankah dalam teologi liberal, seseorang tidak boleh menjadi fanatik terhadap ajaran yang dipeluknya?

Karena secara logika, kekuasaan Tuhan dan otoritas Tuhan baru ada, dan berwibawa, terhadap manusia jika para pengikut Tuhan itu beriman dan menerima atau fanatik terhadap otoritas ketuhanannya. Tetapi bila pengikutnya bebas menerima dan bebas juga menolak ajaran Tuhannya, sesuai selera kemanusiaannya, apa lagi disesuaikan dengan p;erkembangan zaman, lalu di mana pengaruh kekuasaan Tuhan pada manusia? Apalagi jika manusia lebih menentukan dibanding Tuhan sendiri.? Seperti misalnya manusia dapat menolak kehendak Tuhannya, dengan alasan kebebasan. Bagai mana mungkin orang yang menentang Allah, atau bebas untuk tidak taat kepada Allah, mengatakan bahwa wewenang tentang sesat dan tidak sesat ada dalam tangan Allah? Allah hanya ada dalam dada orang yang beriman, tidak dalam dada mereka yang ingkar, atau munafik. Wewenang Allah diambil oleh ulama dan umat Islam, karena keimanan, dan ketaatan mereka kepada Allah, bukan karena adanya kebebasan untuk taat atau kebebasan untuk ingkar.

Adapun MUI menyesatkan Ahmadiyah karena percaya dan beriman kepada otoritas mutlak Allah untuk memvonnis hambanya, apakah seseorang itu sesat atau mendapat petunjuk, beriman, munafik, ataukah kafir. Pesan Allah tentang hal tersebut dicantumkannya dalam kitab suci-Nya al-Quran. Adapun Islib yang tidak terikat dengan al-Quran atau Hadis dan tradisi Islam lainnya, tentu saja merasa aneh dan terkejut membaca putusan MUI tersebut.

Sementara itu Ahmadiyah sendiri tentu mengerti bahwa mereka disesatkan oleh MUI dan umat Islam sedunia lainnya, karena paham mereka yang memang bertentangan dengan al-Quran. Misalnya mereka tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir, karena masih ada nabi lain yang diakui sebagai nabi terakhir yaitu Ghulam Ahmad. Itu sebabnya seluruh dunia Islam melihat Ahmadiayh dengan kaca-mata yang sama, kacamata Allah dalam Al-Quran. Hanya orang-orang non Muslim, kaum Islib dan simpatisannya saja, yang menentang dan mengingkari ketetapan Allah tersebut, atas dasar kebebasan. Makna kebebasan di sini adalah kekacauan. Karena tidak ada batas mana yang benar dan mana yang salah. Jika salah dan benar ditentukan oleh kehendak manusia, atau oleh hawa nafsu tanpa batas, maka system nilai dalam agama menjadi rusak dan kacau balau.

Kebebasan Menafsir Kitab Suci

Sukidi juga meminta Islib mencontoh Luther dan Calvin yang memperjuangkan kebebasan (individu) untuk antara lain membaca dan menafsirkan Bibel, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, sehingga setiap orang yang melek huruf berhak menafsirkan Bibel. sesuai dengan semangat reformasi. Sebelum reformasi, Bibel ditulis dalam bahasa Yunani atau Latin, sehingga monopoli penafsiran dipegang oleh para Imam dan institusi Gereja.

Sejak Reformasi tersebut kitab suci Bible telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, dan sekarang orang-orang Jawa, Sunda, Melayu, Batak, Aceh, dan lain-lain dapat membaca kitab suci Injil dan Taurat dalam bahasa ibu mereka. Kitab suci umat Islam al-Quran juga sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, akan tetapi berbeda dengan Kitab Suci Bible, kitab Suci al-Quran, tetap mencantumkan bahasa Arab sebagai bahasa asli al-Quran, di samping bahasa terjemahannya.

Sedangkan Bibel tidak jelas apakah ada, atau tidak ada standar ilmiah untuk menafsirkannya, sehingga setiap orang yang melek huruf bebas menafsirkan Bibel. Satu hal yang patut dicatat adalah bahwa Bibel dalam berbagai bahasa dapat menimbulkan penafsiran berbeda, karena dzuq l-lughah, atau rasa bahasa tidak mungkin sama dengan teks aslinya. Sedangkan al-Quran, walaupun juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, namun teks aslinya tetap dicantumkan dan tidak boleh dihilangkan, sehingga setiap saat orang dapat melihat teksnya yang asli, sehingga dengan mudah dapat diketahui apakah sebuah terjemahan sudah sesuai dengan tekas aslinya, atau tidak. Demikian juga dengan penafsiran, dapat dilacak apakah penafsirannya sejalan dengan kaedah-kaedah ilmiah, atau asal tafsir saja. Dengan itulah Islam dipelihara dari kerusakan. Apakah Islib berjalan sesuai dengan kaedah Islam atau tidak juga mudah dilacak. Sehingga fatwa MUI hanya perlu untuk mereka yang beriman tetapi lalai dari bahaya pengrusakan Islam, bukan untuk mereka yang ingkar atau ragu terhadap Al-Quran dan tradisi Islam lainnya.

Kalau setiap orang dibolehkan menafsirkan al-Quran, sesuai dengan selera masing-masing orang, maka kitab suci al-Quran menjadi kitab suci yang tidak berharga. Setiap orang merasa berhak untuk membuat tafsir, walaupun pengetahuannya tentang ilmu Islam tidak meyakinkan. Itu sebabnya para ulama Islam meletakkan dasar-dasar pokok penafsiran, agar kesucian agama dan kemurnian akidah tetap terpelihara. Orang-orang kafir yang menentang Islam, boleh saja membuat tafsir al-Quran sesuai dengan seleranya, sebagai mana dilaklukan misi Kristen di tengah-tengah para pengungsi di Aceh, tetapi umat Islam tidak terikat dengan penafsiran mereka. Apalagi mereka punya tujuan untuk mengelabui umat Islam, agar menerima ajaran agama mereka. Cuma saja umat Islam tidak pernah membalas kekejian dengan kekejian serupa. Ketika para pendeta memaki Nabi Muhammad SAW, dan memasukkannya ke dasar neraka, umat Islam tidak membalas dengan memaki Yesus, dan melemparkannya ke neraka pula. Agama Islam tidak rusak karena dimaki manusia atau dimusuhinya.

Sukidi pasti mengerti apa perbedaan antara al-Quran dan Bibel. Tetapi nampaknya ia memandang sama saja antara keduanya. Karena semua agama itu sama. Mungkin itu sebabnya Islib tidak mau terikat dengan kaedah-kaedah ilmu al-Quran (‘ulumul-Quran) yang disusun para ulama. Mungkin karena para ulama itu adalah manusia biasa saja, bukan nabi, tidak ada bedanya dengan semua manusia lainnya, sehingga hasil riset dan pemikiran para ulama terkemuka dalam Islam yang menghasilkan ilmu tafsir dan ilmu lainnya tentang al-Quran, disamakan saja dengan manusia lainnya. Sementara al-Quran masih mempertanyakan apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu? (hal yastawi l-ladzina ya’lamuna wa l-ladzina la ya’lamun?)

Penutup

Kelihatannya pengaruh Barat terhadap kaum intelektual kita semakin besar, kalau selama ini pengaruh itu dalam bidang ekonomi dan budaya, kini melebar ke bidang agama. Ketika Barat mempengaruhi kita dalam ekonomi, negara kita menjadi miskin dan terperangkap dalam hutang. Ketika budaya Barat kita ikuti, nilai-nilai budaya kita hancur, digantikan budaya Barat. Sifat suka menolong dan gotong royong berganti dengan sifat materialistis, dan berpretensi. Apalagi belajar agama Islam tidak ke tempat kelahiran Islam, tetapi justru ke Barat yang secara terbuka menentang Islam. Adakah mungkin orang yang membenci kita mengajarkan kebenaran? Prasangka buruk semacam ini tidak ada pada Islib, tetapi ada pada kaum tradisionalis yang takut pada kelemahan diri, sebagai manusia. Karena kita tidak mau menjadi korban sia-sia. Orang yang tidak mengikuti perkembangan zaman, tidak mengerti betapa Islam selalu dipojokkan dan dibenci oleh Nasrani dan Yahudi dan musyrikin. Mereka memandang ayat al-Quran tentang hal tersebut sudah tidak berlaklu lagi, sehingga semua agama sama saja. Padahal Kristenisasi berjalan terus. Kalau memang semua agama, kenapa Islam masih terus diganggu?

Oleh karena itu, Islib pantas dilarang di Indonesia oleh MUI bahkan sharusnya dilarang di seluruh dunia Islam, karena kerusakan agama oleh pola pikir mereka terang sekali.

Jakarta, 18 September 2005



[1] Disampaikan dalam acara Stadium General Sekolah Tinggi Agama Islam Imam Syafi’i Kampus IV Tambak Kibin Tahun Akademik 2005/2006

[2]Mahasiswa Teologi di Harvard Divinity School, Harvard University, Cambridge, Amerika, dan Pendiri Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Menteng Jakarta. dengan judul, Teologi Liberal untuk Islam Liberal, dalam harian Kompas, (Sabtu, 6-8-05)